Selasa, 23 Desember 2008

Kontroversi UU BHP

Kontroversi UU BHP Saturday, 20 December 2008 Rabu (17/12) lalu DPR mengesahkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Pengesahan UU tersebut menimbulkan sejumlah polemik dan kontroversi. Bahkan sejumlah mahasiswa di Makassar dan Jakarta ramai-ramai berdemo menolak UU tersebut. Mengapa UU BHP tersebut menimbulkan kontroversi dan mengapa DPR berkeras untuk mengesahkan UU tersebut? Apa manfaat dan kerugiannya bagi dunia pendidikan kita? Tulisan ini mencoba memberikan satu perspektif singkat mengenai pertanyaan-pertanya an itu.Tentu saja akan ada perspektif lain dalam melihat UU BHP. Otonomi atau Liberalisasi? Sejak awal disiapkan,RUU BHP— yang merupakan amanat UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional—memang menuai berbagai persoalan. Dominasi isu yang muncul adalah apakah negara bermaksud melepaskan tanggung jawab konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945. Isu ini semakin kuat jika dikaitkan dengan gejala liberalisasi (neoliberalisme)— atas nama profesionalisme dan korporasi— yang sudah terjadi pada sektorsektor yang lain melalui privatisasi. Apalagi di dalam draf-draf awal RUU BHP tersebut dimungkinkan dan dimudahkannya lembaga pendidikan tinggi asing mendirikan BHP di Indonesia melalui kerja sama dengan BHP Indonesia yang telah ada. Pasal ini memiliki sisi positif untuk meningkatkan daya saing pendidikan tinggi untuk menyerap pengetahuan pendidikan tinggi asing,tetapi juga dapat memiliki dampak negatif berupa liberalisasi pendidikan tinggi yang dapat menyebabkan intervensi dan penguasaan pendidikan oleh lembaga pendidikan tinggi asing. Pasal ini telah dihapus dalam UU BHP yang ditetapkan oleh DPR. Kontroversi lainnya adalah seputar biaya pendidikan yang dikhawatirkan akan semakin mahal dengan terbentuknya BHP.Kekhawatiran ini berasal dari praktik perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) sebagai species BHP yang selama ini terjadi dan bertendensi memarginalisasi anak-anak tidak mampu untuk mengenyam pendidikan. Perjalanan dan perenungan penulis terhadap praktik PT BHMN selama ini menyimpulkan bahwa pembiayaannya masih berpijakpadabiayaop erasionalpendidi kan (BOP) yang dipungut dari peserta didik. Hal ini terjadi karena berbagai persoalan,seperti aset PT BHMN yang masih dimiliki oleh negara menyebabkan kesulitan pengembangan sumber penerimaan lain dari ventura bisnis. Di sisi lain, betapa sulitnya melakukan perubahan budaya penyelenggara (baik pengelola,dosen dan tenaga kependidikan) dari budaya birokrasi ke budaya korporasi. Jalan mudah yang selama ini ditempuh adalah membebankan pembiayaan operasional kepada peserta didik. Kekhawatiran ini cukup beralasan, meski selama ini PTBHMN secara terbatas juga memberikan fasilitas bantuan pendidikan dan beasiswa kepada peserta didik. Demikian besarnya kekhawatiran masyarakat terhadap mahalnya biaya pendidikan tersebut, para wakil rakyat di DPR merasa perlu untuk mencantumkan kewajiban pemerintah dalam pembiayaan pendidikan oleh BHP. Dalam draf terakhir yang disahkan pada 17 Desember 2008 lalu, pasal-pasal tentang kekayaan dan pendanaan pendidikan oleh BHP diarahkan untuk memperkuat peran negara dalam pembiayaan pendidikan. Misalnya saja kekayaan BHP pemerintah/ pemerintah daerah (BHPP dan BHPPD) merupakankekayaanpe ndiri (negara/pemerintah daerah) yang dipisahkan (Pasal 37). Sedangkan semua bentuk pendapatan dan sisa hasil usaha kegiatan maupun penggunaan tanah negara tidak termasuk pendapatan negara bukan pajak (Pasal 38) dan harus ditanamkan kembali ke dalamBHPuntuktujuan peningkatan kualitas pendidikan.Khusus untuk pendanaanpendidikan bagiBHPPdan BHPPD, pemerintah dan pemerintah daerah menanggung paling sedikit 1/3 biaya operasional untuk pendidikan menengah dan paling sedikit 1/2 biaya operasional untuk pendidikan tinggi (Pasal 41 ayat 4 dan 6). Biaya penyelenggaraan pendidikan yang ditanggung oleh peserta didik dalam BHPP dan BHPPD paling banyak 1/3 dari biaya operasional. Dalam pasal lain UU BHP juga mewajibkan penyelenggara pendidikan untuk memberikan beasiswa, bantuan pendidikan,kredit mahasiswa dan pemberian pekerjaan kepada peserta didik (Pasal 40),dan wajib menjaring dan menerima warga negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu paling sedikit 20% dan jumlah keseluruhan peserta didik. Hal menonjol dan sampai saat ini tetap menjadi ganjalan dalam UU BHP adalah berlakunya ketentuan BHP bagi penyelenggara pendidikan swasta oleh masyarakat. Seluruh ketentuan BHP berlaku bagi BHP masyarakat (BHPM), kecuali mengenai ketegasan bantuan pemerintah untuk biaya investasi, beasiswa dan biaya operasional pendidikan sebagaimana berlaku bagi BHPP dan BHPD. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah memang ikut menanggung dana pendidikan untuk BHPM dan BHP penyelenggaraan (yayasan dan perkumpulan) dalam bentuk bantuan pendidikan, tetapi hal ini hanya berlaku bagi pendidikan dasar dan tidak ditentukan besaran minimal bantuan tersebut. Dapat dikatakan bahwa proporsi pengaturan pasal-pasal dalam UU BHP lebih condong dan lebih cocok untuk lembaga pendidikan pemerintah ketimbang lembaga pendidikan swasta. Menuju Implementasi UU BHP Berbagai kontroversi di atas seharusnya bermuara pada satu pertanyaan, dapatkah UU BHP ini diimplementasikan untuk menjamin kualitas pendidikan kita yang semakin baik? Penulis sendiri berposisi mendukung penguatan profesionalisme otonomi penyelenggaraan pendidikan, tanpa harus melepaskan tanggung jawab negara terhadap pendanaan pendidikan. Tentu saja dengan berbagai catatan, bahwa implementasi UU BHP tidak boleh menyebabkan komersialisasi pendidikan yang dapat membatasi hak-hak masyarakat—termasuk golongan tidak mampu—untuk menikmati pendidikan. Pun bantuan dan subsidi yang diberikan oleh negara terhadap pendidikan tidak boleh menyebabkan hilangnya kreativitas dan inovasi lembaga pendidikan untuk melakukan knowledge sharingdan knowledge creation. Jika dilihat dari pasal-pasal dalam UU BHP, sejatinya cukup melegakan bahwa tanggung jawab negara dalam pendidikan tidak hilang dan dihilangkan. Demikian pula tuntutan UU BHP untuk akuntabilitas, keterbukaan, partisipasi dan transparansi dalam penyelenggaraan pendidikan. Yang justru dikhawatirkan adalah kemampuan negara untuk membiayai 1/3 biaya operasional (pendidikan menengah) dan 1/2 biaya operasional (pendidikan tinggi) bagi seluruh BHPP dan BHPPD. Nilai itu belum termasuk biaya investasi, beasiswa, dan subsidi lain. Dana ini juga belum termasuk bantuan pemerintah dan pemerintah daerah kepada BHPM. Jika pemerintah tak memiliki dana cukup untuk membiayai itu semua,maka kekhawatiran sejumlah mahasiswa dalam praktik PT BHMN selama ini akan terjadi. Hal lain yang cukup mengganggu, sering kali implementasi UU terhambat oleh buruknya kapasitas sistem birokrasi negara. Jika bantuan dana tersebut dilakukan melalui birokrasi negara, bukan tidak mungkin proses pendidikan secara keseluruhan juga akan terwarnai oleh buruknya kompetensi dan rusaknya moralitas birokrasi. Kepada seluruh pemangku kepentingan penulis menghimbau,mari kita diskusikan polemik BHP ini dengan kerangka dan tujuan yang sama: untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.(*) *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi Eko Prasojo Guru Besar FISIP UI dan anggota MWA UI

Rabu, 03 Desember 2008

Guru Impian (1)

Assalamu ‘alaikum guruku
Setiap saat aku berjumpa denganmu
Setiap saat itu pula kulihat senyummu

Assalamu ’alaikum guruku
Setiap saat engkau mengajariku
Setiap saat itu pula kulihat samudra ilmumu

Assalamu ’alaikum guruku
Setiap saat engkau menasehatiku
Setiap saat itu pula kulihat kemuliaanmu

Assalamu ’alaikum guruku
Setiap saat engkau menyeruku
Setiap saat itu pula kulihat wibawamu

Assalamu ’alaikum guruku
Setiap saat engkau menyapaku
Setiap saat itu pula kulihat kasih sayangmu


Itulah puisi yang dibuat oleh seorang guru dari MI Miftahul Huda Cikadut Bandung saat acara Teacher Motivation Goes to School yang diadakan tanggal 10 Juli 2008. Puisi ini menceritakan Guru Impian yang didambakan seorang siswa. Tulisan ini akan mencoba membahas secara berseri dan di bagian pertama yaitu Guru yang Ramah dan Murah Senyum.

Apakah benar siswa berharap bertemu dengan guru yang ramah penuh senyuman? Apa efek senyuman itu? Nah, jika coba tanya kepada siswa, apa ciri pertama guru yang diidolakan, biasanya jawabannya guru yang ramah, tidak sombong dan baik hati. Guru yang ramah, memberi senyuman yang tulus yang selalu teringat dan membekas di hati. Akibatnya akan sungguh luar biasa karena siswa akan selalu merasa nyaman belajar dan terus merindukan saat-saat bersama gurunya. Semangat untuk kembali ke sekolah dengan penuh kegembiraan dan tanpa ketepaksaan.

Bagaimana dengan kita sebagai guru? Apakah senyum ini masih terus ada di diri kita dalam setiap kondisi dan keadaan? Jangan sampai senyum itu hanya ada di tanggal 1 tiap bulan saat masih banyak uang di kantong. Lalu kemudian mulai menghilang di tanggal 15 karena uangnya mulai menipis? Apakah senyum ini masih terus kita tebarkan ke anak didik kita setiap hari dengan penuh keikhlasan? Jangan sampai senyum yang ditebarkan seperti senyum pramugari di saat kita masuk ke pesawat terbang. Senyum karena prosedur pelayanan. Tentu kita ingin senyum karena ikhlas karena senyum yang ikhlas akan menjadi shadaqah. Oleh karena itu mari biasakan untuk tersenyum yang keluar dari hati yang tulus. Asal jangan senyum sendirian, khawatir dianggap kurang waras.
Lebih lanjut tentang senyum yang ’ideal’ dapat dicermati dari lagu di bawah ini :

SENYUM (Raihan)

Manis wajahmu kulihat di sana,
apa rahasia yang tersirat
Tapi zahirnya dapat kulihat,
Mesra wajahmu dengan senyuman
Senyuman …. senyuman

Senyum tanda mesra, senyum tanda sayang,
Senyumlah sedekah yang paling mudah.
Senyum diwaktu susah tanda ketabahan,
Senyuman itu tanda keimanan
Senyumlah …. Senyumlah…. Senyumlah …. Senyumlah

Hati yang gundah terasa tenang,
bila melihat senyum.
Tapi senyumlah seikhlas hati
Senyuman dari hati jatuh ke hati.
Senyumlah …. senyumlah

Senyumlah seperti Rasulullah…
Senyumnya bersinar seperti cahaya
Senyumlah kita hanya karena Allah
Itulah senyuman bersedekah
Senyumlah …. Senyumlah … Senyumlah …. Senyumlah

Senyumlah sedekah yang paling mudah
Tiada terasa terhutang budi
Ikat persahabatan antara kita
Tapi senyum jangan disalah guna
Senyumlah …. Senyumlah … Senyumlah …. Senyumlah

Wallaahu a’lam bishshawab
Syamril

Menjelang dhuhur, di Masjid Salman ITB
Tanggal 25 Oktober 2008

Belajar dari Laskar Pelangi

Jangan pernah menyerah …
Kita hidup untuk memberi sebanyak-banyaknya dan bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.
(Pak Harfan : Kepala Sekolah SD Muhammadiyah Belitong di Film Laskar Pelangi)

Itu adalah cuplikan nasehat dari Pak Harfan, Kepala Sekolah di Film Laskar Pelangi saat memberikan nasehat kepada murid-muridnya. Meskipun seluruh muridnya berasal dari kaum dhuafa, miskin dan hanya mampu bersekolah di SD Muhammadiyah yang hampir roboh, Pak Harfan sadar bahwa ada yang tak boleh roboh dari murid-muridnya yaitu semangat, harapan yang tergambar dari ungkapan sederhana “jangan pernah menyerah”…

Demikian pula saat Pak Harfan sedang sibuk membetulkan bangku yang sudah rusak kemudian datanglah temannya dan bertanya “mengapa masih tetap kau petahankan sekolah ini?” Apa jawaban beliau : “ sekolah ini bukan hanya mengejar nilai, tapi juga mendidik hati.. “ Artinya pendidikan yang tidak hanya mementingkan intelektual semat, tetapi juga iman takwa dan akhlak mulia. Di bagian lain juga terungkap bahwa sekolah itu tetap ada untuk membantu mereka yang miskin agar juga tetap bersekolah. Ternyata itu semua dipayungi oleh filosofi hidup ” Kita hidup untuk memberi sebanyak-banyaknya dan bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya”.

Selanjutnya, sosok yang lebih luar biasa lagi yaitu Bu Muslimah yang meskipun hanya tamatan Sekolah Menengah, tapi semangat juangnya untuk menjadi guru sangat tinggi. Semula mereka hanya bertiga di sekolah, dan kemudian salah seorang guru pun pindah ke tempat lain. Lalu setelah Kepala Sekolah meninggal, tinggallah beliau sendirian mendidik anak-anak yang tergabung dalam Laskar Pelangi dengan karakter yang berbeda-beda. Sungguh sosok guru yang luar biasa, guru yang mampu mendidik dengan penuh dedikasi meskipun tanpa gaji. Guru yang mampu menerapkan ilmu-ilmu pendidikan modern yang baru banyak dipelajari di masa sekarang padahal beliau tak pernah belajar secara khusus tentang itu.

Bu Muslimah telah menerapkan prinsip bahwa setiap anak itu unik, sehingga masing-masing akan tumbuh dengan karakter, minat dan dan bakat yang berbeda. Mahar yang berbakat di seni diberinya peluang dan kepercayaan untuk tumbuh. Lintang yang jago matematika dan sains, didorongnya untuk terus belajar dan menunjukkan kemampuannya sampai berhasil juara di Cerdas Cermat. Bahkan, Harun yang saat ujian matematika hanya mampu menggambar kucing, tetap dihargai dan diberinya raport khusus. Ini lebih luar biasa lagi, beliau telah menerapkan pendidikan inklusi yang baru ada abad XXI ini banyak didengungkan.

Akhirnya, Film Laskar Pelangi yang diambil dari karya Andrea Hirata yang berjudul sama sungguh sangat inspiratif terutama bagi kita para pendidik. Di tengah arus materialisme, kapitalisme dan pragmatisme yang mendera dunia pendidikan kita, film ini membawa pencerahan bahwa menjadi guru itu sangat mulia. Dan kunci itu semua dirangkum dengan sangat baik oleh Nidji dalam lagu Laskar Pelangi berikut ini :

Mimpi adalah kunci
Untuk kita menaklukkan dunia
Berlarilah tanpa lelah
Sampai engkau meraihnya

Laskar Pelangi
Takkan terikat waktu
Bebaskan mimpimu di angkasa
Warnai bintang di jiwa

Menarilah dan terus tertawa
Walau dunia tak seindah surga
Bersyukurlah pada yang Kuasa
Cinta kita di dunia
Selamanya …….

Cinta kepada hidup
Memberikan senyuman abadi
Walau hidup kadang tak adil
Tapi cinta lekat di kita

Laskar Pelangi
Takkan terikat waktu
Jangan berhenti mewarnai
Jutaan mimpi di bumi

Menarilah dan terus tertawa
Walau dunia tak seindah surga
Bersyukurlah pada yang Kuasa
Cinta kita di dunia

Menarilah dan terus tertawa
Walau dunia tak seindah surga
Bersyukurlah pada yang Kuasa
Cinta kita di dunia

Selamanya ……. Selamanya

Laskar Pelangi
Takkan terikat waktu

Saya jadi teringat dengan Firman Allah berikut :
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. Al Ankabut : 69)

Syamril

Sang Militan Pendidikan

Sabtu, 8 nop lalu, saya sangat bersyukur diundang oleh HIMPAUDI Kabupaten Tasikmalaya. Acaranya Teacher Motivation Forum. Saya bertemu dengan sekitar 250 orang guru PAUD dan acara di dalam masjid, bukan di ruangan ber AC. Acara dengan guru-guru dari jam 9.10 - 12.30.
Yang membuat saya bersyukur saat berdua dengan ketua panitia, makan siang sambil ngobrol.... Luar biasa militannya sang ketua ini, di lingkungan sekolah PAUD nya yang punya 10 orang guru, dia sendirian yang laki-laki....
Kemudian, dia mengurus PAUD yang ada di kampung-kampung di kabupaten tasikmalaya. Beliau bercerita sedang mengajukan data ke dinas pendidikan agar guru-guru PAUD dapat bantuan Rp. 200.000,- per orang karena memang guru-guru PAUD sering digaji alakadarnya (ada yang 50.000 sebulan).
Dia nyatakan di depan para peserta, tidak akan ada pemotongan bantuan jika nanti cair....
Nah, dia pun cerita bahwa kalau lewat dinas pendidikan sering ada pemotongan. Dan di acara itu, dari dinas pendidikan juga datang dan sempat 'mengajari' beliau agar tiap guru dipotong 50.000,-. Kan lumayan, kalau ada 200 orang guru, bisa dapat 10 juta....
Apa jawaban beliau, saya tidak tega, gaji mereka sudah kecil, kok kita teganya memotong lagi... Untung beliau punya prinsip dan tidak takut dijadikan 'musuh' oleh dinas pendidikan.

Mental umum dinas pendidikan kita ternyata seperti itu. di bandung pun ada kepala sekolah yang pernah cerita, dapat bantuan untuk sekolah gratis yang dia dirikan, dipotong juga sama dinas pendidikan (tega nian, tidak pandang bulu). Dan tidak ada pilihan lain karena kalau tidak dipotong tidak akan cair...

KEmbali ke militansi tokoh yang saya ceritakan di awal.
Di usianya yang 35 tahun dan memilih jalan pendidikan tanpa dana yang banyak karena sekolahnya juga bukan untuk orang kaya, saya bertanya, apa bisnisnya agar ada juga penghasilan lain? Dia ternyata melayani pemasangan dan servis wartel. Kok bisa, padahal dia sarjana agama.... Lalu, sekarang juga bisnis air oksigen....

Akhirnya, militansi beliau dan keteguhannya menjalani dunia PAUD membuatnya dikenal dan dicintai oleh pada guru PAUD bahkan masyarakat sekitar pun mengenalnya dan mungkin satu kota dia mengenal dia. Saya sempat bercanda, kalau saya naik becak dan saya bilang mau ke sekolah dia, pasti semua tukang becak sudah tahu... Jawabannya ia, angkot dan lain juga tahu... Padahal sekolahnya tidak bisa masuk mobil, masuk ke gang kecil .... tapi saat keliling ke fasilitas sekolah, saya kaget.... di sekolah kecilnya itu ada komputer dan software pendidikan dari akal interaktif. Ini bagus untuk anak-anak dan saya dorong PAUD lain agar juga punya komputer walaupun bekas....
Rasanya dan saya yakin banyak orang-orang seperti ini di kampung-kampung yang mungkin tidak banyak kita kenal dan tidak banyak bicara. Mereka lebih senang bekerja dan tidak begitu memikirkan 'uang' karena dia yakin Allah Maha Adil, Maha Kaya, Maha Pengasih dan Penyayang....

Jangan menyerah...
Mari berbuat karena kita hidup untuk memberi sebanyak-banyaknya.
Bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya....

(tahu kan ini ucapan siapa? .... Pak Harfan di Laskar Pelangi)